TANJUNG SELOR – Di tengah bayang-bayang pembangunan yang terus menggerus ruang hidup masyarakat adat, sebuah suara dari hulu Kabupaten Bulungan akhirnya terdengar jelas, mengalir melalui layar-layar digital dan mengetuk kesadaran masyarakat.
Kali ini, Inaya Kayan Indonesia secara resmi meluncurkan pameran virtual ‘Suara dari Hulu: Tubuh, Alam dan Perlawanan Perempuan Uma’ Kulit’, sebuah ruang kolektif yang menyuarakan kisah perempuan adat Long Pelban yang selama ini tak diberi ruang dalam proses pembangunan, tapi tidak pernah berhenti menjaga tanah, tubuh dan sejarahnya.
Pameran ini bukan hanya tempat memajang karya seni, melainkan ruang hidup digital yang memuat napas-napas perlawanan. Di tengah ancaman PLTA Kayan dan ekspansi industri lainnya yang mengabaikan keberadaan masyarakat adat, terutama perempuan, karya-karya ini muncul dari luka yang terbuka, keheningan yang lama dipaksa dan keberanian yang diwariskan antar generasi.
“Perempuan Long Pelban bukan penonton dalam pembangunan. Mereka adalah penjaga hutan, perawat ladang dan penentu musim. Tapi suara mereka diabaikan. Melalui pameran ini, kami menolak untuk dilupakan,” ujar Meta Septalisa, Ketua Inaya Kayan Indonesia, Selasa (27/5/2025).
Dalam pameran ini, 10 seniman muda Kalimantan menyumbangkan karya yang menggambarkan kekacauan, kehilangan dan harapan. Instalasi, ilustrasi digital, patung tanah liat dan karya video menggambarkan keterhubungan antara tubuh perempuan dan alam, serta ancaman yang mereka hadapi ketika ruang hidup mereka dialihfungsikan atas nama kemajuan.
Salah satu segmen tidak kalah menyentuh adalah Points of Listening, yaitu rekaman suara hutan Kalimantan Tengah selama 24 jam penuh, sebuah pengalaman imersif yang mengajak pengunjung tidak hanya melihat, tapi juga mendengar gemerisik, burung, serangga dan angin: suara alam yang perlahan dibungkam oleh deru mesin.
Pameran ini dapat diakses secara daring selama satu bulan penuh dan terbuka bagi siapa saja, kapan saja. Tapi pameran ini tidak berhenti di sini. Tim Inaya Kayan berkomitmen untuk memperluas ruang ini ke Kalimantan Timur dan Selatan, membangun koneksi lintas wilayah, serta mendokumentasikan lebih banyak kisah dan praktik kearifan lokal perempuan adat di tengah krisis iklim.
“Kami ingin mengajak publik untuk tidak hanya menyaksikan, tapi juga mendengar, merasakan dan bergerak bersama. Karena keadilan iklim hanya mungkin jika kita menghormati pengetahuan lokal dan memulihkan suara perempuan,” kata Meta.
Peluncuran ini juga menjadi bagian dari kerja jangka panjang antara komunitas, seniman dan mitra pendukung seperti YAPPIKA-ActionAid, yang turut membantu mewujudkan ruang aman bagi suara perempuan adat dan mendukung program pembela keadilan iklim yang berbasis komunitas. (**)