JAKARTA — Pengembangan Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Tanah Kuning-Mangkupadi, Kalimantan Utara, menuai kontroversi. Meski proyek ini digagas untuk pertumbuhan ekonomi nasional dengan fokus industrialisasi berkelanjutan, banyak warga setempat mengaku mengalami perampasan lahan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Zona industri seluas 30.000 hektar ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2021. Pemerintah dan investor menyatakan bahwa dibukanya kawasan industri hijau ini akan mendatangkan potensi lapangan kerja serta pertumbuhan ekonomi. Namun, warga Mangkupadi dan Tanah Kuning justru mengalami dampak sosial berupa konflik lahan dan pemindahan paksa.
Warga melaporkan bahwa lahan yang telah mereka huni selama puluhan tahun diambil alih oleh perusahaan dalam proyek KIHI tanpa konsultasi yang adil atau kompensasi. Beberapa lahan yang diambil alih memiliki makna sejarah dan budaya, seperti situs makam adat.
Selain itu, masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan terganggu oleh aktivitas industri yang merusak zona tangkap ikan. Terdapat 115 struktur perikanan tradisional yang terancam akibat perluasan aktivitas industri. Nelayan Mangkupadi menggunakan sistem bagan sebagai metode penangkapan ikan. Secara ekonomi, setiap bagan mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp 7-10 juta per bulan. Jika industri beroperasi penuh, wilayah tangkapan ikan akan menyusut dan menghilangkan sumber pendapatan para nelayan.
Masalah lain yang timbul adalah penolakan warga yang berujung pada kriminalisasi. Beberapa warga menghadapi intimidasi dan ancaman hukum saat berusaha melindungi lahan mereka. Salah satunya adalah Pak Aris, pemilik lahan lokal, yang melaporkan pernah diintimidasi dan akhirnya dipenjara karena menolak menyerahkan lahannya.
“Kasus KIHI di Kalimantan Utara ini menjadi pengingat akan pentingnya praktik inklusif, adil, dan transparan dalam proyek industri skala besar,” ucap Nasrul dari Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari dalam keterangan resmi yang diterima pada Rabu (6/11).
“Jika ingin Indonesia tumbuh secara berkelanjutan, hak-hak dan kesejahteraan masyarakat lokal harus menjadi prioritas utama,” tegas Nasrul.
Dalam laporan “Kebohongan Industri Hijau” yang diluncurkan pada Juli 2024, terungkap bahwa kawasan industri yang diklaim hijau menggunakan pembangkit listrik tenaga air masih akan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebagai sumber energinya. Pembangunan PLTU ini tidak sejalan dengan agenda pemerintah yang berencana mempensiunkan semua PLTU batu bara.
“Dampak negatif PLTU di dalam kawasan industri hijau diproyeksi akan menyebabkan kerugian spesifik di sektor perikanan senilai Rp 51,5 miliar,” ungkap Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS.
“Kerugian ekonomi tersebut disebabkan oleh dampak kerusakan lingkungan, kesulitan nelayan mencari ikan, hingga sektor pertanian yang terimbas pertambangan batubara untuk mensuplai PLTU,” tambahnya.
Berdasarkan survei CELIOS tentang nilai ekonomi di Tanah Kuning-Mangkupadi, terdapat pendapatan penduduk Mangkupadi per tahun sebesar Rp 1,5 miliar dari pertanian dan Rp 1 miliar dari perikanan. Total sektor pertanian dan perikanan memiliki pendapatan kotor sebesar Rp 4,41 miliar per tahun. Dengan pertumbuhan sektor pertanian dan perikanan sebesar 2,8% per tahun, pendapatan warga berpotensi meningkat menjadi Rp 8,7 miliar per tahun dalam 25 tahun mendatang. Namun, dengan adanya proyek KIHI, potensi pendapatan tersebut terancam berkurang secara signifikan.
Koalisi Setara (Selamatkan Kalimantan Utara) bersama warga Desa Mangkupadi yang terdampak, termasuk keluarga dengan keterikatan generasi terhadap tanah mereka, menuntut kompensasi yang adil dan penghormatan terhadap hak-hak mereka. Mereka mendesak pemerintah untuk turun tangan, menengahi konflik ini secara adil, dan menghentikan perluasan industri yang mengancam kehidupan tradisional mereka.