JAKARTA – Defisit APBN per Maret akhir 2025 tercatat sebesar Rp 104,2 triliun atau setara 0,43% dari PDB. Jumlah itu masih di bawah ambang batas yang ditetapkan dalam Undang-undang APBN tahun 2024 tentang APBN 2025 yang menetapkan defisit sebesar 2,53%.
Angka defisit Rp 104,2 triliun setara 16,9% dari target defisit APBN yang sebesar Rp 616,2 triliun (2,53%) dari PDB. Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan APBN tidak akan jebol.
“APBN didesain dengan defisit 2,53%, ini sesuai dengan undang-undang APBN yang sudah disetujui oleh DPR, yaitu Undang-Undang 62 Tahun 2024. 2,53% itu artinya defisit Rp 616 triliun,” ujarnya dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia, disiarkan YouTube Sekretariat Presiden
Defisit APBN berasal dari pendapatan negara yang baru sebesar Rp 516 triliun atau 17,2% dari target Rp 3.005 triliun. Sementara belanja negara tercatat sudah menyentuh angka Rp 620,3 triliun atau 17,1% dari target Rp 3.621,3 triliun.
Pendapatan negara terdiri dari realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp 400,1 triliun atau 16,1% dar target Rp 2.490,9 triliun, dan penerimaan bukan pajak atau PNBP Rp 115,9 triliun atau 22,6% dari target.
Secara rinci penerimaan perpajakan yang berasal dari penerimaan pajak adalah sebesar Rp 322,6 triliun atau 14,7% dari target Rp 2.189,3 triliun. Sementara kepabeanan dan cukai adalah sebesar Rp 77,5 triliun atau 25,7% dari target Rp 301,6 triliun.
Sementara itu belanja negara yang sebesar Rp 620 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat Rp 413,2 triliun atau 15,3% dari target Rp 2.701,4 triliun. Serta ada juga transfer ke daerah Rp 207,1 triliun atau 22,5% dari target Rp 919,9 triliun.
Pada kesempatan itu Bendahara Negara juga menyampaikan pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp 250 triliun pada periode Januari-Maret 2025. Utang tersebut digunakan untuk menambal defisit APBN yang ditetapkan maksimal sebesar Rp 616,2 triliun.
Realisasi untuk pembiayaan anggaran itu mencapai 40,6% dari target APBN tersebut. Adapun defisit APBN per akhir Maret 2025 tercatat sebesar Rp 104,2 triliun atau 0,45% dari PDB.
Menurut Sri Mulyani, keputusan pemerintah itu adalah untuk mengantisipasi kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang diramal bakal menimbulkan banyak disrupsi.